Friday, April 30, 2010

Gairah Goyang Robot Jepang

Tak lama lagi, robot akan bersaing atau kalau tidak menggantikan model di ranjang dan catwalk. Robot terbaru buatan Jepang ini tidak hanya cantik, tetapi juga bisa berlenggak-lenggok dengan pinggul bergoyang saat berjalan sehingga menimbulkan gairah.

"Secara teknologi, ia sudah mencapai level tersebut," ujar Hiroshi Hirukawa, salah satu ilmuwan dari National Institute of Advanced Industrial Sciences and Technology, lembaga riset yang didukung penuh dana Pemerintah Jepang. Robot tersebut dipamerkan, Senin (16/3), dalam peragaan busana di Tokyo.

Saat berjalan, gerakan-gerakan kaki dan tangannya luwes seperti manusia. Ekspresi wajahnya juga dapat berubah-ubah dari sedih ke senang dengan mengatur gerakan mata dan mulut sesuai perintah.

Robot tersebut tampil dengan wajah khas wanita Jepang dengan kulit putih dan rambut hitam lurus sebahu. Tingginya 158 sentimeter dengan berat 58 kilogram. Sementara itu, bagian badannya masih berupa logam berwarna perak.

Selain model di catwalk, robot yang diberi nama HRP-4C itu mungkin dapat digunakan pula untuk menggantikan pemandu atau instruktur. Misalnya, pemandu arah di taman kota atau sekadar menggerak-gerakkan badan untuk memberi hiburan pengunjung tempat hiburan.

Sayang, harganya masih sangat mahal. Platform robot tanpa bagian wajah yang halus berbahan silikon akan dijual dengan harga 20 juta yen atau sekitar Rp 2,4 miliar.

Meski demikian, software yang mengatur gerakan robot tersebut akan disumbangkan kepada publik. Para pengembangnya berharap, komunitas robot di saluruh dunia dapat meningkatkan kemampuan robot tersebut dengan cepat.

Tuesday, April 20, 2010

Tentang goyang jaipong

Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar.

Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian.

Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).

Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).

Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.

Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan.

Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni

Umar Khayyam

UMAR Khayyam terkenal dengan namanya sebagai seorang penyair unggul Parsi dan ahli astronomi. Beliau juga dikenali sebagai ahli matematik Islam yang telah memperkenalkan sebuah persamaan parsiel antara algebra dengan geometri.

Nama penuh Umar Khayyam ialah Umar Ibnu Ibrahim al-Khayyami. Beliau dilahirkan di Nisyapur, Semenanjung Khurasan pada 433H/1040M dan meninggal dunia pada 517H/ 1123-1124M.

Sejak kecil beliau sudah memperoleh pendidikan yang baik dan teratur daripada orang tuanya yang memang termasuk dalam kategori orang berada.

Salah seorang gurunya ialah Imam Muwaffak, pendidik yang amat terkenal di Nisyapur. Kecemerlangannya, berjaya menarik perhatian Sultan Malik Syah sehingga ditawarkan untuk berkhidmat di istana.

Namun, Umar Khayyam tidak berminat. Beliau lebih tertarik kepada dunia keilmuan, sastera dan sains. Oleh itu, sultan telah mendirikan sebuah observatori astronomi yang menjadi tempat Umar Khayyam mengembangkan ilmunya. Di samping itu, beliau juga dilantik menjadi ketua kepada lapansarjana yang melakukan penelitian astronomi di Perguruan Tinggi Nizamiah, Baghdad, Iraq.

Para ilmuwan ini kemudian melakukan modifikasi terhadap perhitungan takwim Islam. Pembaharuan ini didasarkan pada pemikiran dan juga kenyataan bahawa manusia hanya mengenal tahun syamsiyah (yang mempunyai 365 hari) dan tahun qamariah (354 hari).

Pada dasarnya ini merupakan sebuah tugas mirip dengan revisi yang dilakukan oleh Paus Gregory XIII pada 1528M terhadap kalendar Kristian atau kalendar Julian (Julius Caesar) yang telah dipakai sejak 46M. Hasil kerja kelompok Umar Khayyam ternyata jauh lebih baik berbanding yang dilakukan oleh Paus Gregory XIII.

Sejak 1079M, Umar Khayyam telah mula menerbitkan hasil penelitiannya berupa gambar rajah astronomi yang dikenali sebagai Zij Malik Syah. Begitu juga karyanya dalam bidang matematik, khususnya mengenai algebra serta sebuah buku penyelidikan daripada buku The Difficullies of Euclid’s Definitions (Kesulitan Definis Fuclides). Semuanya sehingga kini masih tersimpan dengan baik.

Karyanya tentang Al-Jabr (Algebra) telah diterjemahkan dan disunting oleh F.Woepeke ke dalam bahasa Perancis (1857M). Ia merupakan sumbangan amat berharga bagi negerinya serta bagi pengajian bidang matematik pada umumnya.

Beliau merupakan orang pertama secara ilmiah mengklasifikasikan persamaan-persamaan tingkat satu (persamaan Linear) serta memikirkan kemungkinan dan mengutamakan masalah persamaan pangkat tiga (kubik) yang berpangkal daripada persamaan umum. Lain halnya dengan al-Khawarizmi yang lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada persamaan kuadrat.

Umar Khayyam turut menghasilkan Jawami al-Hisab yang mengandungi rujukan awal mengenai segi tiga Pascal dan menguji balik postulat V Euclides yang berkait dengan teori garis sejajar.

Dalam satu risalahnya, beliau membincangkan kesulitan definisi Euclides yang menggambarkan segi empat ABCD dengan sisi AB dan DC yang sama dengan yang lain.

Umar Khayyam dan al-Thusi juga menyedari bahawa ada kemungkinan jumlah sudut sebuah segi tiga kurang daripada 180 darjah.

Karya syair Umar Khayyam disusun dalam satu kumpulan rubaiyyat atau quatrain (syair empat baris). Kebanyakan karyanya menyingkap kerendahan hati dan sifatnya kepada Allah s.w.t.. Bahkan, hasil karya Umar Khayyam telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris oleh Fitz Gerald pada 1859M.

Pada 1893, E.H. Whinfiel pernah menterjemahkan sebuah buku edisi Umar Khayyam, 500 Quatrains, A Scholarly Work. Kemudiannya pada 1902, Bjerregard telah menerbitkan buku Sufi Interpretations of the Quatrains of Omar Khayyam and Fitz Gerald

Saturday, April 10, 2010

Memaknai Goyang Karawang

Seorang teman dari Karawang yang sedang berada di Luar Karawang disuatu kesempatan pernah berkeluh kesah : “Kang, saya suka bingung kalo teman saya dari luar Karawang nanya ke saya tentang Goyang Karawang. Padahal, saya juga nggak tahu asal muasal Goyang Karawang itu,” – dan dengan enteng saya menjawab : “Bilang aja, Karawang itu telah menggoyang Indonesia dengan berbagai prestasi dan potensinya,” – Dan lalu teman tersebut bertanya kembali : Maksud loe?” – Dan mari kita jawab bersama dengan uraian dibawah ini.

Disebuah kesempatan lain, melalui blog saya di www.deniborin.multiply.com, saya pun sempat mengajukan sebuah pertanyaan kepada teman-teman blogger (orang yang ngeblog) dari daerah lain, sejauhmana mereka mengetahui Karawang. Jawabannya? Sudah bisa diperkirakan, berputar di tiga kata kunci : goyang, padi atau beras dan perjuangan (proklamasi). Mana yang paling banyak diantara ketiganya? Adalah goyang yang ternyata menjadi kata kunci orang mengenali Karawang. Bahkan, beberapa teman lainnya, malah lebih mengenal istilah Goyang Karawang itu sendiri dibandingkan mengenal Kabupaten Karawangnya.

“Saya malah gak tahu Karawang itu dimana?” Wow, ini seperti halnya ada orang luar Indonesia yang lebih mengenal Bali ketimbang Negara Indonesianya sendiri dengan mengatakan : “Indonesia itu sebelah mananya Bali ya?” – Lantas bisakah ada orang luar yang mengatakan : “Indonesia itu sebelah mananya Karawang ya?” Tidak ada yang tidak mungkin.

Goyang Karawang selama ini selalu identik dengan Jaipong, geolan tubuh atau bahkan konotasi yang cenderung negatif, setidaknya itulah hasil berbagai survei yang saya lakukan terutama kepada orang di luar Karawang. Selain itu, Lagu Goyang Karawang yang dinyanyikan dengan brilian oleh Teh Lilis Karlina memperkuat anggapan bahwa : “Goyang Karawang ya Jaipongan ditambah Dangdut”, kata Teteh manis nan seksi dari Purwakarta ini dalam lirik lagunya.

Terlalu sederhana bagi saya pribadi, jika Goyang Karawang hanya dimaknai sebagai Goyang Jaipong ataupun kolaborasi antara Dangdut dan Jaipong. Atas dasar itu, saya pribadi mencoba memaknai lain tentang Goyang Karawang ini. Goyang Karawang yang selama ini menjadi identitas yang melekat dengan Karawang. Singkatnya, saya ingin memaknai dan semoga menjadi sebuah definisi tentang Goyang Karawang dalam makna yang lebih luas.

Dalam persfektif (sudut pandang) saya, Karawang dengan berbagai potensi yang dimiliki dari pertanian, pesisir pantai, pegunungan, industri, wisata hingga sejarah dan budaya, sudah seharusnya bisa menjadi kekuatan yang besar. Sebuah wilayah stategis dan sebuah pusat dari berbagai hal. Dari sinilah kemudian, Karawang sudah seyogyanya dapat menggoyang Jawa Barat, Indonesia bahkan dunia! Dengan kata lain, menggoyang atau menggemparkan dengan prestasi dan kemajuan yang ada tentunya!

Goyang Karawang adalah Geolan Karawang yang mampu membuat masyarakat Indonesia dan dunia tahu bahwa Karawang punya potensi, punya prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata! Dunia membutuhkan Karawang untuk selalu bergoyang, apalagi Indonesia. Dengan kata lain, jika Karawang tidak menggoyang maka akan ada yang kurang di Indonesia atau bahkan dunia. Jika Karawang tidak panen (beras), maka ada yang kelaparan di Indonesia bahkan dunia. Begitupun jika dikaitkan dengan berbagai potensi lainnya.

Setidaknya, fakta-fakta sejarah sudah memberikan alur kesana, rangkaian fakta yang sudah semestinya membuat anak-anak, orang-orang, warga, masyarakat atau apapun istilahnya bangga menjadi bagian dari Karawang. Karawang dahulu, adalah dijadikan sebagai pusat serangan dijaman penjajahan Belanda oleh Sultan Agung ke Batavia (Jakarta kini), menjadi tempat diamankannya Soekarno di Rengasdengklok (Proklamasi RI), lalu kearah lebih jauh kebelakang menjadi pusat peradaban Kerajaan Tua Jawa yakni Tarumanegara (lihat percandian di Batujaya dan Cibuaya). Masih kurang? Masuknya bangsa Cina ke Jawa Barat pun adalah dari Karawang (lihat Vihara Sian Djian Ku Poh), ada juga Syeh Quro (Gurunya para Wali Songo) yang memusatkan penyebaran Islamnya ditanah Jawa dari Karawang. Hamparan sawah, eksotisme pegunungan Sanggabuana di Loji (Pangkalan) dengan segala potensi budaya, alam dan misterinya yang belum tergali secara maksimal dan sebagainya.

Semua potensi itu, tentunya tidak bisa dan tidak mesti luruh, hanya oleh jaipong (yang entah darimana diklaim sebagai miliknya Karawang) atau hanya diwakili dengan satu kata, dua kata atau tiga kata. Karawang, tidak hanya bisa didefinisikan hanya dengan menerjemahkan kata : Ka-rawa-an atau pun kra-uang, dan lain-lain. Ada semangat yang lebih daripada itu yang harus ditumbuhkan!

Mendefinisikan dan memaknai adalah dua hal yang berbeda. Definisi atau arti selalu harus berdasarkan pada sebuah catatan atau sejarah (fakta) yang membangunnya. Sedangkan makna memberikan ruang subjektif yang besar untuk berperan. Jadi itulah makna Goyang Karawang yang saya utarakan, Anda, Dia, Mereka dan semua orang tentunya punya makna lain yang bisa jadi berbeda, tergantung Anda melihatnya dari sisi mana.

Dimuat juga di www.karawanginfo.com